bismillah
Ad suatu kisah,
yang aku anggap ini adalah PR kita untuk didiskusikan atau dievaluasi, saya
harap jangan hanya dilihat atau dibaca aja, tapi dipikir dalam-dalam dan
silahkan memberi solusi.
Sengaja tulisan
ini tidak diberi kesimpulan, tujuannya khusus membuka pikiran dari
teman-teman,
Suatu hari ada
sekelompok orang sedang melingkar, bahasa melingkar artinya disana ada guru
agama biasanya setahun atau duatahun lebih tua,sering disebut ‘murobbi’ dan
adek-adek yang sering disebut “mutarobi”
Pada lingkaran
tersebut membahas tentang apa saja yang berkaitan dengan kehidupan agama, ya
beruntung kalau tidk mengkaitkan suatu
parpol, pada saat itu berlangsung di taman masjid kampus , yang
Qadarullah di masjid itu juga ada kajian, dari situ aku berpikir kenapa gak
sama-sama masuk saja dan duduk belajar bareng, jadi,guru tadi sama adek-adeknya
menyatu angkatan sama-sama menjadi
mutarobi kuberanikan bertanya pada salah
seorang mbak yang pernah ‘nutor’
saya tanya “kenapa
gak masuk ke masjid aja?, apalagi ustadnya sepertinya lebih memadai ilmu
Din-nya, dikenal dengan hafalannya yang yahut, lulusan Madinah pula,” lalu mbak
ini menyahut “ya karena urusannya berbeda” , aku dibuat bingung dengan jawaban itu.. urusan yang mana
yang dimaksud?
Dan lagi, aku
juga pernah mendengar cerita, tidak hanya mendengar ding tapi aku sendiri ada didalamnya,sepulang
dari melingkar, kami berjalan menuju
parkiran, disana ada sepasang kekasih
halal, ada salah seorang kawanku nyeletuk “nikah muda, gimana menurutmu?”
“bla..bla..bla “ jawaban salah satu temanku , pada ujung pernyataan selalu aku
dengar , “kalau cinta, datangi murobbi-ku” lagi-lagi aku dibingungkan dengan
pernyataan itu,seakan akan murobi itu penting
ikut andil dalam masalah jodoh.
waktu itu aku
sholat di maskam U** dalam masjid ada
kajian, kajian itu membahas tentang cinta hakiki,atau apa ya, sedikit lupa
pokoknya saat itu aku ngajinya enggak sengaja,tapi aku yakin bahwa Allah
menyengajakan untukku, ustad berkata bahwa jalan ta’aruf itu begini dan begitu
disebutkan dalil yang sohih, aku ingat-ingat betul bahwa disana tidak
menyebutkan “datangi guru ngajinya” sependek ingatanku “datangi orangtuanya,
sampaikan maksud”
Jadi kalau
dipikir dengan manusiawi, pernyataan “datengin
murobi” yang sering aku dengar itu jadi pertanyaan : merasa tertohok gak sih,
kalau murobinya saja belum nikah lalu si ikhwan ini yang seumuran dengan
dirinya tiba-tiba bilang “eh, aku pingin nikah...” terus murobinya ini kaget, lalu
bayangannya udah kemana-mana,lalu jantungnya terasa lepas tapi kata selanjutnya “sama si ukhti ini,mutarobimu, diizinin ya...” lalu
si mutarobinya ini langsung entah bagaimana aku harus menggambarkannya.
Dan masih banyak
hal lain yang susah untuk dituliskan,
Aku berpikir
bahwa aku punya mesin sendiri , tidak perlu diremot untuk berjalan, tidak perlu
diseting oranglain untuk melakukan sesuatu,
Secara diam aku
ngaji diluar liqo’,dan aku lakukan tanpa paksaan siapapun,tanpa disuruh
siapapun, aku datang dengan hati yang kosong, harapanku pulang dari ngaji itu
hati terisi, karen untuk menunggu jadwal seminggu sekali yang kadang juga gak
terlaksanakan itu hatinya bisa mengering ..
.
Seperti kata
paling atas bahwa tulisan ini tidak diberi kesimpulan,..
Tapi aku nyatakan
bahwa sekarang aku telah berhijrah, Aku selalu berdoa agar Allah
tidak merubahku lagi,kecuali dengan perubahan yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar antunna, adalah kemajuan untuk karya-karya ana.